Kenali Sejarah Alat Tulis Lewat Pameran di House of Sampoerna
06.03 |
|
Surabaya (beritajatim.com) - Aksara menjadi konteks penting dalam literasi. Ia berkembang menjadi huruf. Rangkaian huruf menjadi kalimat.
Pembeda nyata dalam runutan periode perkembangan sebuah peradaban. Kisah perkembangan itu terlihat pameran bertajuk Menutur Kisah di Balik Untaian Kata, di Museum House of Sampoerna (HOS), Jumat (25/8/2017).
Ada 20 benda-benda kuno yang berkaitan dengan literasi. Tiap benda menyimpan cerita menarik. Ia menjadi bagian penting dalam perjalanan dunia literasi di Indonesia.
Tengok saja benda pameran berjudul Replika Kakawin Sutasoma, yang merupakan karangan Empu Tantular pada 1350-1389. Dalam bahasa Jawa Kuno, bagian pupuh 139 bait ke-5 dari kakawin ini berisi tentang semboyan Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Aksara ditulis dalam lembaran lontar. Ada juga gambar yang mengisahkan cerita tulisan di bagian bawah lembaran lontar. Gambarnya, bagus. Tulisan pun terlihat jelas. “Ini membuktikan literasi sudah berkembang dari sebelum peradaban,” ungkap Manager Museum & Marketing Rani Anggraini.
Beralih dari replika Kakawin Sutasoma, ada juga alat tulis berupa sabak dan grip. Ada tiga sabak dengan ukuran berbeda-beda. Sabak terbuat dari lempengan baru karbon berwarna hitam. Sama halnya yang digunakan pada grip.
Sabak menjadi alat tulis yang digunakan siswa di Indonesia pada era- 1960-an sebelum buku tulis dari kertas. Sabak bukanlah piranti menyimpan bekas yang permanen. Setelah tulisan penuh, langsung dihapus untuk digunakan kembali. Jadi, siswa saat itu dituntut menghafal materi yang dituliskan dalam sabak.
Benda ini terbilang langka. Kemajuan teknologi sedikit demi sedikit menghapus penggunaan buku tulis. Apalagi, fungsi sabak. “Kalau sekarang lebih pakai komputer maupun gadget,” kata Rani.
Meski begitu, sabak dianggap penting dalam perkembangan alat tulis di Indonesia. Kalau tidak ada sabak, belum tentu muncul buku seperti saat ini. Di samping sabak dan grip, bertengger pena bulu angsa dan tempat tinta dari kuningan. Benda ini menandakan masuknya tinta ke Indonesia sekitar awal abad ke-19. Bentuknya mirip pena yang digunakan Harry Potter. Tapi, bedanya, ia tidak memiliki sihir.
Selain itu, 10 mesin ketik jadul juga tak kalah menarik perhatian dalam pameran. Tiap mesin memiliki sisi unik. “Masih dapat digunakan lho,” ungkapnya.
Pembeda nyata dalam runutan periode perkembangan sebuah peradaban. Kisah perkembangan itu terlihat pameran bertajuk Menutur Kisah di Balik Untaian Kata, di Museum House of Sampoerna (HOS), Jumat (25/8/2017).
Ada 20 benda-benda kuno yang berkaitan dengan literasi. Tiap benda menyimpan cerita menarik. Ia menjadi bagian penting dalam perjalanan dunia literasi di Indonesia.
Tengok saja benda pameran berjudul Replika Kakawin Sutasoma, yang merupakan karangan Empu Tantular pada 1350-1389. Dalam bahasa Jawa Kuno, bagian pupuh 139 bait ke-5 dari kakawin ini berisi tentang semboyan Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Aksara ditulis dalam lembaran lontar. Ada juga gambar yang mengisahkan cerita tulisan di bagian bawah lembaran lontar. Gambarnya, bagus. Tulisan pun terlihat jelas. “Ini membuktikan literasi sudah berkembang dari sebelum peradaban,” ungkap Manager Museum & Marketing Rani Anggraini.
Beralih dari replika Kakawin Sutasoma, ada juga alat tulis berupa sabak dan grip. Ada tiga sabak dengan ukuran berbeda-beda. Sabak terbuat dari lempengan baru karbon berwarna hitam. Sama halnya yang digunakan pada grip.
Sabak menjadi alat tulis yang digunakan siswa di Indonesia pada era- 1960-an sebelum buku tulis dari kertas. Sabak bukanlah piranti menyimpan bekas yang permanen. Setelah tulisan penuh, langsung dihapus untuk digunakan kembali. Jadi, siswa saat itu dituntut menghafal materi yang dituliskan dalam sabak.
Benda ini terbilang langka. Kemajuan teknologi sedikit demi sedikit menghapus penggunaan buku tulis. Apalagi, fungsi sabak. “Kalau sekarang lebih pakai komputer maupun gadget,” kata Rani.
Meski begitu, sabak dianggap penting dalam perkembangan alat tulis di Indonesia. Kalau tidak ada sabak, belum tentu muncul buku seperti saat ini. Di samping sabak dan grip, bertengger pena bulu angsa dan tempat tinta dari kuningan. Benda ini menandakan masuknya tinta ke Indonesia sekitar awal abad ke-19. Bentuknya mirip pena yang digunakan Harry Potter. Tapi, bedanya, ia tidak memiliki sihir.
Selain itu, 10 mesin ketik jadul juga tak kalah menarik perhatian dalam pameran. Tiap mesin memiliki sisi unik. “Masih dapat digunakan lho,” ungkapnya.
Pameran mesin ketik ini juga menggambarkan perjalanan sejarah yang begitu cepat. Dari tahun ke tahun, ada saja perubahan dan perkembangan mesin dengan fungsi yang lebih canggih. Mesin ketik paling tua dalam pameran ini terbuat tahun 1901. [way/ted]
sumber : www.berijatim.com
0 komentar:
Posting Komentar